Matanews, Jakarta – Pengamat militer Indro Tjahyono mengatakan, dalam mencegah konflik (kepentingan) di Pemilu, ada tiga hal yang harus diperhatikan.
Yakni membuat aturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta membuat badan pengawasan untuk itu (Bawaslu), sosialisasi tentang budaya politik damai.
”Khususnya terhadap para peserta pemilu dan publik pada umumnya, menyiapkan sistem penegakan keadilan hukum yang sesuai dengan situasi pemilu, dan semua sistem persenjataan harus dalam kendali negara,” kata Indro dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (24/2/2019).
Pertanyaanya adalah apakah dengan metode pencegahan konflik dan antisipasi pengendalian resikonya konflik bisa hilang?
“Saya kira tidak bisa 100% hilang, karena probabilitas sosial yang ada mustahil bisa seluruhnya dijadikan asumsi pada saat menyusun upaya pencegahan konflik”, ujar Indro Tjahyono yang juga pengamat militer dan keamanan nasional.
Padahal sumber konflik politik bisa aneh-aneh, apalagi jika sudah dilakukan manipulasi. Konflik atau reaksi politik yang berujung konflik kadang-kadang justru dibangkitkan, jika berakibat negatif bagi lawan pilitik.
Konflik di satu pihak perlu dihilangkan, tetapi di lain pihak sudah menjadi bagian dari permainan politik. Konflik atau isu yang dapat berakibat konflik justru dibangkitkan secara sengaja.
“Tujuannya adalah untuk membangun faktor pembeda ( distingtive factor ) di antara pemilih, menjadi barometer sejauh bmana kekuatan pendukungnya, dan membangun vsoliditas kolektif pemilih,” jelas Indro.
Tatkala konflik menjadi bagian dari permainan politik, maka penanganan konflik bukan terhadap konflik dan sumber konfliknya, melainkan mengatasi sumber konflik lebih ke hulu lagi (upstreamnya).
Itulah mengapa kita harus menempatkan prosperity approach & security approach dalam satu langkah dalam mengatasi konflik atau lebih jauh dalam menangkal ancaman keamanan publik dan keamanan nasional. Komunikasi politik sebelum pemilu juga menjadi kunci penting dalam membicarakan prosperity aspects para peserta pemilu.
Dalam salah satu teori demokrasi dikatakan bahwa keseimbangan politik akan dicapai kalau kekuasaan terbagi habis. Kegagalan dalam membicarakan power sharing baik sebelum dan sesudah pemilu berakhir akan berpotensi menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
“Kita telah membuang waktu hampir dua tahun pada awal pemerintahan Jokowi hanya untuk menyelesaikan konflik kelembagaan negara. Konflik mereda justru setelah adanya akomodasi politik bagi sebagian anggota partai koalisi lawan Jokowi”, Indro memberi contoh.
Sikap picik melihat politik dan kekuasaan, seolah seseorang atau sekelompok orang bisa mengatur sendiri kekuasaan sudah berakhir. The earth is flat, siapa nggak mau berbagi, kekuatan alami dan sosial yang akan membaginya.
Indro Tjahyono menilai, hal itulah yang harus dilakukan daripada situasi sosial terlihat damai, tetapi di dalamnya ada bara konflik yang terus menyala.
‘Sedangkan di lain pihak para pembuat konflik biasanya menskenariokan bahwa _”konflik dibuat agar tidak bisa diselesaikan, kecuali kejatuhan kekuasaan itu sendiri”,” terang pengamat dari UI ini.