Home / Mata Metropolitan / Deligitimasi Pemilu, Upaya Mengurangi Semangat Rakyat untuk Memilih Pemimpin

Deligitimasi Pemilu, Upaya Mengurangi Semangat Rakyat untuk Memilih Pemimpin

Jakarta – Masalah serius yang akan muncul pada Pilpres 2019, bukan soal menang atau kalah,  tetapi gerakan untuk mendeligitimasi hasilnya.  Bahkan ada pihak yang sudah menyiapkan upaya deligitimasi hasil pemilu yang akan diumumkan KPU ,sejak 4 tahun silam.  Mereka ingin membalas atau melakukan revance atas kekalahannya.

 

Itulah kesimpulan diskusi yang diselenggarakan eksponen Gerakan Mahasiswa 77-78 di Cafe Atjeh Connection tanggal 9 September 2019. Sukotjo Suparto SH ,mewakili eksponen 77-78 Jakarta,  membuka diskusi dengan mengatakan:  “Memang berat tantangan untuk melanjutkan kemajuan yang telah dicapai saat ini.  Kendati demikian rakyat harus berhasil mengatasi segala dampak yang ditimbulkan oleh pesta demokrasi tersebut”. Hadir selaku narasumber adalah  Prof Dr Syamsudin Haris dari LIPI dan Ahmad Badja politisi NU yang ikut ditahan pada tahun 1977/1978.

 

S Indro Tjahyono ,selaku pembawa acara mengatakan: ” Isu de legitimasi paska Pilpres ini dipilih,  mengingat riakriaknya semakin santer sejak di gorengnya isu DPT,  KTP ganda,  kardus kotak suara,  WNA bisa mencoblos, 12 kontainer surat suara sudah dicoblos,  sampai ucapan Amin Rais agar penghitungan jangan dilakukan di Hotel Borobudur”. Hal itulah yang juga dikhawatirkan DR Syamsudin Haris: “Yang harus diprioritaskan adalah bagaimana menjaga proses pemilu dan adanya upaya untuk mendelegitimasi Pemilu akibat ketidakpuasan”. Menurutnya, dalam kaitan ini penting sekali keberadaan Perpu yang mengijinkan perpanjangan waktu penghitungan sampai lebih dari 30 jam.

 

Sementara itu, Drs Ahmad Badja juga mengatakan bahwa serunya upaya  delegitimasi nanti adalah akibat pertentangan bipolar terkait pendukung mayoritas. Ia menyebutkan:  ” Hakekatnya dalam pemilu atau pilpres saat ini,  yang dibenturkan adalah antara Islam moderat yang direpresentasikan oleh NU dengan Islam ekstrim penganut khilafah”. Dengan demikian paska pilpres, NU harus lakukan konsolidasi besar-besaran. “Ini untuk menangkal gelombang  delegitimasi, baik melalui penyadaran maupun melakukan kontra gerakan”,  imbuhnya.

 

Oleh karena menghadapi tahap akhir Pilpres yang suaranya sudah tidak akan bergeser banyak, dikatakan Drs Ahmad Badja: ” TNI dan TNU harus kompak”. Menurut DR Syamsudin Haris:  “Perubahan elektabilitas sampai tanggal 17 April 2019 tidak akan signifikan, sekalipun hoax digencarkan. Jokowi – Maaruf Amin akan memperoleh 55-60 persen, sementara Prabowo – Sandiaga Uno mendapatkan 40 – 45 persen”

 

Memang soal adanya upaya untuk mendelegitimasi hasil Pilpres merupakan PR terbesar bagi pemerintahan Jokowi – Maaruf Amin,  termasuk untuk lakukan konsolidasi Demokrasi. Dalam hal ini sangat penting untuk  mempertahankan selisih suara di atas 5 persen agar tidak muncul reaksi berlebihan. DR Syamsudin Haris mengingatkan:  “Kepercayaan publik terhadap KPU, menurut survey, masih di atas 80 persen”. Jadi tidak perlu khawatir jika Amin Rais akan menggalang people power.

 

Diskusi yang dihadiri oleh ratusan aktivis wakil alumni perguruan tinggi seluruh Indonesia itu diakhiri dengan ikrar untuk memenangkan Indonesia Maju.  Tampak hadir  beberapa tokoh aktivis mahasiswa seperti Ramles Manampang, Sismulyanda,  Dwi Subawanto,  Henny Andries,  Zulkarnaen Saman, Maruli Gultom dll.

[contact-form][contact-field label=”Nama” type=”name” required=”true” /][contact-field label=”Surel” type=”email” required=”true” /][contact-field label=”Situs web” type=”url” /][contact-field label=”Pesan” type=”textarea” /][/contact-form]

About Author

About Matanews.id

Check Also

Panglima TNI Hadiri Deklarasi Pemilu Damai Lintas Ormas dan Lintas Agama

MATANEWS, Jakarta – Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menghadiri acara Deklarasi Pemilu Damai lintas ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *