Oleh Rachmad Hariyanto
Mahasiswa PTIK Angkatan 5
Matanews.id, Jakarta – Beberapa waktu yang lalu, kita digegerkan dengan fenomena yang terjadi pasca serangan terhadap Menkopolhukam Wiranto dengan “pisau Naruto” oleh terduga teroris, banyak beredar komentar atau cuitan tersebut di media social (medsos) yang cenderung menjadi berita hoax.
Dalam cuitan medsos tersebut, ada yang menunjukkan keprihatinan dan ada yang menuding bahwa kejadian tersebut adalah rekayasa, malah mereka yang radikalis menuding peristiwa tersebut adalah setingan yang didukung oleh beberapa data hoax yang seolah mendukung opini sesat tersebut dan disebar secara massif di media social.
Pemikiran radikal tersebut dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap negara, bila sudah mempengaruhi orang lain untuk melakukan kekerasan, kerusakan bahkan melukai orang lain, padahal jaman penjajahan dulu, para pejuang mengusir penjajahan dengan cara yang radikal.
Kata radikal bisa berarti positif dan negatif, menjadi positif bila dilakukan untuk kebaikan menurut versi yang menggunakan tetapi menjadi negative bila digunakan untuk merusak dan melukai orang lain yang dapat berubah menjadi intoleran dan teror.

Mahasiswa PTIK Angkatan 5
Membahas tentang radikal yang bersifat negative, dapat dilakukan di medsos melalui berita hoax, merujuk pada seorang ahli fisika bernama Alan Sokal yang membuat artikel hoax dan nonsense tahun 1996, dimana jurnalnya dikirim kepada kaum posmo di Amerika Serikat, artikel hoax tersebut dibuat keren dan cocok untuk idiologi kaum posmo dan akhirnya diterima dan dipublikasikan.
Setelah jurnal tersebut terbit, Alan Sokal membeberkan bahwa jurnal yang dibuat hanyalah parodi untuk mengejek para pemikir posmo dan dengan kata lain jurnal tersebut adalah hoax. Jika jurnal hoax Alan Sokal dibuat untuk menguji kaum posmo atau akademisi dan berhasil mempengaruhi mereka. Bagaimana jika berita hoax tersebut dipakai oleh kaum radikalis dengan mengatasnamakan agama untuk mempengaruhi masyarakat ? pasti amat sangat luar biasa dampaknya.
Diperlukan masyarakat yang kritis dan “kepo” untuk dapat bijak dalam menerima berita dengan melakukan telaah, pengujian dan verifikasi terhadap suatu berita. Bisa saja para kaum radikalis memberikan berita hoax untuk meminta dukungan kepada masyarakat yang tingkat pemahamannya kurang melalui cuci otak, sehingga melegalkan kegiatan radikal dengan kekerasan.
Perkembangan era digital semakin massif di dalam kehidupan kita sekarang, ditandai dengan penggunaan medsos yang digemari oleh kalangan muda, dimana informasi tersebut didapat tanpa batas dan dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang.
Dalam masyarakat kita, ada perkembangan fenomena post truth, dimana ada pergeseran social dimasyarakat dalam memahami media dan opini yang bersaing antara penyajian fakta atau opini kebohongan agar dapat dipercaya oleh masyarakat yang membaca. Sehingga era post truth dapat diartikan sebagai mencari pembenaran dibandingkan dengan kebenaran itu sendiri. Bagaimana cara mengatasi itu semua?
Radikalisme yang berkembang menjadi kekerasan, merusak dan melukai orang lain, harus diantisipasi dengan cepat agar tidak menciptakan paham terror di masyarakat karena bila berkembang dan dibiarkan akan mengancam NKRI.
Banyak cara yang dilakukan oleh kaum radikalis untuk menyebarkan faham radikalnya melalui berita hoax dan melakukan pembenaran terhadap cara-cara yang salah. Semua dibutuhkan kerjasama antar aparatur pemerintah, aparat keamanan, para tokoh dan masyarakat, agar faham akan bahaya radikal yang disebarkan melalui medsos, sehingga dibutuhkan literasi digital kepada masyarakat agar dapat bijak dalam menggunakan medsos.
Masyarakat dapat membantu memutus berkembangnya radikalisme yang menjurus kekerasan dengan cara, apabila bertemu atau berdiskusi dengan seseorang atau sekelompok yang pemahaman agamanya bersifat kaku/rigid dan tekstualis, maka pendapat-pendapat yang dikemukakannya perlu dikonfirmasi kepada ahli agama, para ulama/ustadz dan cendikiawan agama yang lebih kredibel dan apabila ada gerakan di media social untuk melakukan kekerasan dan terror dengan mengatasnamakan ajaran agama, jangan disahuti dan jangan diikuti, tetapi konsultasikan dengan para tokoh, keluarga atau ustadz, dan dilaporkan kepada aparat keamanan serta aparatur pemerintah terdekat.
Untuk melakukan kegiatan penangkalan (preemtif) dan pencegahan (preventif), diperlukan langkah peranan aktif baik dari pemerintah, aparat keamanan maupun masyarakat.
Kegiatan preemtif bisa dilakukan dengan penyuluhan dan sosialisasi terhadap masyarakat akan bahaya radikalisme yang mengarah menjadi terorisme, serta kegiatan preventif dapat dilakukan dengan kontra radikal terhadap orang yang belum terpapar radikalisme dan deradikalisasi terhadap orang yang sudah terpapar radikalisme.
Jadi, semua bergantung pada peran pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan semua lapisan masyarakat untuk mengatakan “tidak” kepada radikalisme yang menyebabkan kekerasan dan bijak dalam menerima setiap informasi yang diterima serta melaporkan kepada pihak terkait serta bijak dalam menggunakan medsos, demikian, wassalam. (red)