Matanews.id, Jakarta – Kuasa hukum Ni Luh Widiani, Agus Widjajanto, merasa prihatin dan aneh atas kasus yang dialami kliennya, yang diputus majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar bersalah dalam perkara pidana nomor 350/Pid.B/2021/PN/Dps.
Padahal, cukup jelas dalam proses penyidikan maupun persidangan, fakta dan bukti-bukti yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak memenuhi syarat, namun diabaikan dan tidak menjadi pertimbangan majelis hakim.
Menurut Agus, sesuai surat edaran petunjuk pelaksanaan dari Jaksa Agung nomor SE-003/J.A/2/1984 tentang keterangan ahli mengenai tanda tangan dan tulisan alat bukti, dan juga proses penyidikan yang mengabaikan uji forensik terhadap alat bukti yang dinyatakan palsu ini, telah melanggar Peraturan Kapolri No 10 Tahun 2009 tentang tata cara dan persyaratan dan permintaan pemeriksaan teknis kriminalistik tempat kejadian perkara dan laboratorium kriminalistik barang bukti kepada laboratorium forensik Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan penuntutan terhadap Surat Palsu dan atau menggunakan Surat Palsu harus dilakukan Uji Forensik di Laboratorium Forensik Mabes Polri.
“Hal itu tidak pernah dilakukan penyidik Bareskrim Mabes Polri, dan diterima begitu saja oleh Penuntut Umum Kejaksaan Agung,”kata Kuasa Hukum Ni Luh Widiani, Agus Widjajanto melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu, (26/01/2022).
Lebih jauh, Agus Widjajanto yang juga dikenal sebagai pengacara Cendana ini menegaskan, apa yang dialami kliennya adalah kriminalisasi hukum. Latar belakangnya diduga perebutan harta waris peninggalan suami Ni Luh Widiani, alm Eddy Susila Suryadi, yang dilakukan oleh saudara kandung atau adik dari almarhum.
Bagaimana tidak kriminalisasi hukum, Ni Luh Widiani yang dipidana perkara pemalsuan surat berupa KTP almarhum Eddy Susila Suryadi yang dikatakan tidak terdaftar, adalah KTP yang sama yang digunakan saat menikah pada 2014. Bahkan, laporan perkara tersebut yang dilaporkan adik almarhum, Gunawan Suryadi, sudah di SP-3 oleh Polda Bali.
“Bukan hanya soal KTP yang dituding tidak terdaftar yang disidik Polda Bali, tapi sampai sidik jari almarhum Eddy Susila Suryadi dalam surat kawin juga disidik. Hasilnya, identik sehingga di SP-3,” jelas Agus.
Entah bagaimana ceritanya, kasus diambilalih dan dilanjutkan oleh Bareskrim Mabes Polri hingga berkas dinyatakan P-21 dan dilimpahkan ke pengadilan.
Patut diketahui, sepeninggal Eddy Susila Suryadi, posisi Direktur Utama PT Jayakarta Balindo Bali diduduki oleh Ni Luh Widiani dengan kepemilikan saham terbesar, mencapai 99% saham. Tercatat, perusahaan memiliki dua rekening dengan nilai masing-masing Rp40 milyar dan Rp5 miliar. Mengherankannya, perusahaan dipailitkan oleh PN Surabaya lantaran dilaporkan memiliki hutang kurang lebih sebesar Rp15 miliar.
Kriminalisasi berlatar belakang perebutan harta waris almarhum Eddy Susila Suryadi, semakin tampak dari upaya paman dan adik almarhum yang juga melakukan berbagai gugatan, antaralain; pembatalan perkawinan antara Eddy Susila Suryadi dengan Ni Luh Widiani yang dari perkawinan tersebut dikaruniai anak, bernama Jovanka Amritha yang lahir pada 7 Mei 2014.
“Dalam UU Pokok perkawinan, yang mempunyai hak untuk melakukan pembatalan perkawinan adalah anak atau istri dan suami dari tergugat. Ini pun, ketika suami istri masihh hidup. Bukan dalam keadaan sudah meninggal salah satunya,” tegas Agus.
Tapi, aneh bin ajaib, lagi-lagi PN Denpasar mengabulkan gugatan pembatalan perkawinan mereka.
“Jadi, sangat terang benderang, dengan dibatalkannya perkawinan dan dipenjarakannya Ni Luh Widiani, tujuan utamanya adalah agar seluruh harta warisan berupa saham perusahaan PT Jayakarta Balindo, tidak bisa jatuh ke tangan istri almarhum Eddy Susila Suryadi,” tambahnya.
Agus menegaskan, keadilan masih jauh dari harapan kita semua. Di masa reformasi ini, hukum dan keadilan justru carut marut. “Hukum dan keadilan sangatlah erat dalam kaitan hubungan, sebab keadilan diciptakan karena adanya hukum. Untuk ini, kami cuma berharap, ada penegak hukum yang masih punya hati nurani dalam memutus suatu perkara dalam kekuasaannya, baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemutus di tingkat pengadilan,” imbuhnya seraya menambahkan semua perangkat pengawasan juga dapat berjalan sesuai tupoksi. “Kalau pengawasan berjalan, maka kasus seperti yang dialami Ni Luh Widiani, tidak akan terjadi,” pungkas Agus. (red)