Matanews.id, Jakarta – Praktisi Hukum Dr Dwi Atmoko SH. MH mengatakan kesadaran masyarakat dalam membuang sampah pada tempatnya masih kurang. Menurutnya, permasalahan sampah di Indonesia disebabkan banyaknya limbah sampah masyarakat, kurangnya tempat sampah, kurangnya kesadaran masyarakat.
“Sampah akan menjadi tempat berkembangbiak serangga dan tikus. Selain itu menjadi sumber polusi, pencemaran air tanah, air, dan usara,” kata Dr Dwi dalam rilis yang diterima redaksi, Jumat (24/6).
“Membuang sampah pada tempatnya merupakan kegiatan sepele, namun tidak semua orang terbiasa untuk melakukan,” jelasnya.
Dr Dwi mengemukakan masyarakat sering membuang sampah sembarangan termasuk di sekolah, di jalan, tempat wisata, di sungai, bahkan dari dalam mobil. “Padahal kita semua tahu betapa besar akibat buruk membuang sampah sembarangan mulai dari lingkungan sekitar yang kotor dan bau, sehingga timbulnya beragam penyakit serta penyakit,” Dr Dwi memaparkan.
Selain itu, kata Dr Dwi, anak-anak juga sering membuang sampah sembarangan karena kurangnya didikan dari kecil. Menurutnya, sebagai pendidik seharusnya memberikan kesadaran pentingnya kebersihan lingkungan.
“Menumbuhkan sikap dan perilaku membuang sampah pada tempatnya harus dimulai sejak usia dini,” katanya.
Pembicara lainnya, Dr Noviriska memberikan materi pertanggungjawaban hukum pada lingkup hukum kesehatan di masa pandemik. Tingginya angka penyebaran Covid-19 di Indonesia membuat masyarakat sulit berinteraksi dan harus mengedepankan protokol kesehatan (prokes).
Dalam prokes dijelaskan beberapa fasilitas umum perlu menerapkan prokes di mana saja. Apabila penerapan prokes tidak diindahkan masyarakat maka dilakukan penegakan hukum dengan tegas. Novi menjelaskan pertanggungjawaban hukum bagi yang melanggar prokes dijelaskan dalam Pasal 65 KUHP, Pasal 212 KUHP, Pasal 214 ayat 1 dan 2 KUHP, Pasal 218 KUHP, Pasal 84 dan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
“Pasal 84 dan 93 bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana yang dimaksud Pasal 9 ayat 1 dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta,” ujar Dr Noviriska.
Sementara, Praktisi Hukum Tommy Tri Yunanta mengungkapkan tanggungjawab hukum rumah sakit terhadap tenaga kesehatan diatur dalam Pasal 44 UU RS Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang menentukan bahwa rumah sakit bertanggungjawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit.
“Pasal 32 UU No 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Setiap pasien mempunyai hak salah satunya adalah menggugat, menuntut rumah sakit apabila rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata maupun pidana,” Tommy menambahkan. (Imo)