Home / Tag Archives: Maluku

Tag Archives: Maluku

Ritual Adat Panas Gandong, Cara Warga Maluku Hangatkan Ikatan Kekerabatan

Matanews.id, Maluku – Ritual adat yaitu budaya Panas Gandong, atau menghangatkan kembali ikatan kekerabatan di gelar didua negeri (desa) di Maluku, yaitu Negeri Rutong, di Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon, dan Negeri Rumahkay di Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB),

Ritual Panas Gandong sendiri merupakan seremoni adat yang biasanya dilakukan antara dua atau lebih negeri adat di Maluku, yang punya ikatan kekerabatan.

Raja Negeri Rutong, Reza Maspaitella mengatakan , Kegiatan ini akan berjalan selama empat hari, yang akan diisi dengan berbagai kegiatan dengan tujuan mempererat hubungan kedua Negeri. “kegiatan Panas Gandong ini adalah bagian dari penjabaran sejarah kedua negeri.”kata Reza

Melalui kegiatan adat tersebut, Reza berharap, fondasi atau landasan kasih yang telah diterapkan oleh para leluhur mereka selama ini, bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi masyarakat Negeri Rutong dan Rumahkay,

“Mengingat ini adalah lambang hubungan dari dua kakak beradik, yang memiliki arti sebuah hubungan kasih.”pungkasnya. (eds)

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dimulai Dari Dapur

Matanews.id, Maluku – Seorang Wakil Majelis Jemaat GPM Manoeratu, Amus Leila, mengatakan bahwa berbagai masalah kekerasan, terutama di wilayah Pedesaan selalu bermula dari dapur. “Dapur tidak hanya menjadi tempat memasak atau menyediakan makanan untuk dikosumsi oleh anggota keluarga agar tetap hidup,” ujarnya.

Kemudian Amus menuturkan, dapur dan seluruh perabot serta isinya, menjadi semacam tanda untuk mengukur makna kehidupan suatu keluarga. “Jika di dapur ada api yang menyala, dan tungku yang masih berasap lama, maka dapat dipastikan ada harapan hidup bagi suatu keluarga,” tuturnya.

“Sebaliknya, jika tungku, atau tempat memasak itu hanya mengeluarkan asap sedikit yang tidak bertahan lama, kemungkinan ada kesusahan hidup yang sedang melanda suatu keluarga,” jelas Amus.

Ia menjelaskan, jika dalam keluarga sudah mengalami kesusahan, maka pasti ada keributan. “Kalau ada keributan, pasti kekerasan dalam keluarga tidak dapat terelakkan. Kekerasan itu bisa terjadi dari suami kepada istri, atau orang tua kepada anak-anak. Atau, anak muda kepada orang tua. Orang kuat pasti yang melakukan kekerasan kepada orang lemah,” jelasnya.

“Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak atau terhadap orang yang lemah, memang sulit dipisahkan dari persoalan ekonomi keluarga. Terutama ketika kemiskinan membelenggu kehidupan masyarakat,” bebernya.

Sementara itu, masyarakat Manoeratu mengalami berbagai persoalan yang menyulam suatu mata rantai kemiskinan. Anak-anak Manoeratu yang telah bersekolah hingga di tingkat SMP, sebagian besar belum bisa membaca, apalagi berhitung.

“Para lelaki dewasa dan perempuan dewasa yang sudah bekeluarga, mempunyai suatu  kebiasaan, yang mereka sebut sebagai “Turumuku”. Itu adalah kebiasaan menghabiskan waktu dengan bercerita seharian di depan jalan, di teras-teras rumah, atau di pingiran pantai,” ujar Amus.

Kemudian, Amus mengatakan, mereka gemar membahas berbagai masalah. Mulai dari masalah politik nasional, masalah-masalah keluarga, menggosipkan seorang dengan yang lain, berbagai cerita yang menurut mereka hanyalah untuk menyenangkan hati dan membangun kebersamaan.

Mantan raja yang memimpin Negeri Maneoratu selama 25 Tahun, Stefanus Tamala (83), mengatakan bahwa kebiasaan Turumuku sangat sulit dihilangkan. “Akibatnya, masyarakat hidup susah, karena waktu mereka habis untuk bercerita, dan tidak bekerja di kebun untuk mengusahakan segala sesuatu bagi kehidupan mereka,” ujarnya.

Kemudian, Oma Antoneta Ilela (78), mengatakn bahwa kegiatan berkebun yang dilakukan hanyalah dengan menanam cengke dan pala. “Untuk hidup setiap hari mereka menanam ubi-ubian dan pisang. Untuk mendapatkan uang, masyarakat biasanya bekerja membela kelapa untuk dibuat Kopra,” ujarnya.

Oma juga menjelaskan bahwa dahulu dusun kelapa adalah milik masyarakat sendiri. Tetapi, ketika mereka berhutang pada pemilik modal, akhirnya dusun itu kemudian diberikan sebagai tebusan.

“Kini, sebagian masyarakat yang tidak mempunyai dusun hanya bekerja sebagai pembuat kopra, dengan penghasilan yang tidak menentu. Aturan yang berlaku adalah pembagian 50 % untuk pemilik kopra dan 50% untuk para pekerja. Jika mereka mendapatkan satu juta, maka Rp.500.000 diberikan kepada pemilik, dan Rp.500.000 dibagi untuk 7 orang pekerja,” jelas Oma.

Ketua Majelis Jemaat GPM Manoeratu, Pendeta Febby Harmusial, mengatakan lingkaran kemiskinan ini sudah sangat kuat mengikat masyarakat. “Kemiskinan struktural dan kultural menjadikan masyarakat Manoeratu sulit keluar dari rantai kemiskinan,” ujarnya.

“Mereka sudah sangat lama hidup dengan sistem ijon, kebiasaan Turumuku, dan struktur pemerintahan negeri yang mengabaikan pemberdayaan masyarakat. Ketika gereja hendak mengambil peran-peran pemberdayaan, berbagai pertentangan muncul dari pihak-pihak yang berkuasa dan bemodal untuk tetap memelihara rantai kemiskinan,” beber Febby.

Ia menjelaskan, bahwa tantangan yang terbesar adalah dari masyarakat sendiri yang tetap lebih memilih melanggengkan kebiasaan Turumuku, daripada berusaha untuk bekerja. “Akibat dari berbagai persoalan sosial dan kemiskikan ini, maka praktek kekerasan dalam rumah tangga selalu terjadi, baik kekerasan fisik, verbal, maupun kekerasan psikis,” ujar Febby.

Semua kenyataan ini terungkap di dalam kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) UKIM di Jemaat GPM Maneoratu, Klasis Telutih, pada Sabtu, (09/11/2019). Kemudian, Tim PKM UKIM yang terdiri dari Resa Dandirwalu, M.Hum,  Dra Tri Astuty. E. Relmasira, MACE, dan Yohanes Parihala, M.Th. melaksanakan PKM dengan fokus pada Pelatihan Pembuatan Renungan Khotbah Anti Kekerasan dan Buku Panduan Advokasi Terhadap Perempuan di Jemaat GPM Maneoratu.

Peserta kegiatan ini berjumlah 47 orang, yang terdiri dari kelompok angkatan muda GPM, wadah pelayanan laki-laki, dan wadah pelayanan perempuan. Dalam kegiatan yang dilaksanakan di gedung gereja Exodus Jemaat GPM Moneratu ini, para peserta diajak terlibat bersama mulai dari memahami pengertian kekerasan, tipologi kekerasan baik langsung, kekerasan struktural dan kultural, mengungkap berbagai narasi dan pengalaman kekerasan.

Kemudian, para peserta belajar bersama membaca Alkitab dengan kesadaran teks-teks yang melanggengkan kekerasan (text of terror), mereinterpretasi teks-teks tersebut untuk mengedepankan pesan nir kekerasan, dan akhirnya para peserta dibantu merumuskan buku panduan advokasi atau pendampingan dalam menghadapi permasalahan kekerasan.

Lalu menggunakan pendekatan reciprocal yang memerlukan keterlibatan semua stakeholder. Hal yang menarik dari kegiatan ini adalah setelah mengidentifikasi berbagai masalah, sebab dan akibatnya seperti yang disebutkan di atas, masyarakat Manoeratu mulai menyadari bahwa habitus structural dan kultural Turumuku, yang selama ini secara turun-temurun dipraktekkan adalah sumber dari berbagai masalah.

Di samping itu, masyarakat pun mulai memahami bahwa mereka tejerat di dalam rantai kemiskinan praktek ijonisasi, dan berbagai praktek ketidakadilan, serta secara bersama, membangun komitmen untuk berjuang membebaskan mereka dari berbagai permasalahan, termasuk masalah kekerasan. (Eddy Suroso)